25 Maret 2008

Mas Apung: Mengingat, Menimbang, Memperhatikan

Mas Apung (Dr. H. Maufur) adalah salah seorang di antara banyak sahabat yang menyediakan ruang hati amat luas untukku. Saya mengenal dia lalu bersahabat lumayan kental dengannya, sejak tahun 1984. Kalau tak salah, kala itu dia Kepala Lemlit UPS Tegal.

Memaklumi diriku sebagai dosen anyar di FKIP, dia rajin menyemangatiku mempertajam kapasitas akademik sekaligus menunjukkan peluang perbaikan penghasilanku. Honor mengajar yang kuterima perbulan, waktu itu, hanya setara tiga kaleng susu bayi.

Kepadaku, Mas Apung tidak memberi uang, tapi menambahi pekerjaan yang cocok dan mendatangkan uang. Maka sejumlah kegiatan diberikan kepadaku: mengonsep bahan universitaria, menulis naskah majalah kampus, mengoordinasi seminar akademik, dan meneliti. Sesekali saya pun menerima honor menulis dari Suara Merdeka.

Begitulah, persahabatan kami mengalir dalam semangat saling memberdayakan dan sarat pergulatan keilmuan. Saya pernah menjadi Pembantu Dekan Bidang Akademik ketika dia menjabat Dekan. Lalu, menjadi Kepala Lemlit ketika dia menjadi Rektor. Dia berbisik kalau menegur kelalaian kerjaku.

Seingatku, Mas Apung merupakan dosen UPS pertama yang meraih Magister Pendidikan. Sepulang sekolah, dia hibahkan (maksudku, dijual separuh harga) sebuah mesin tulis listrik kepadaku. Lumayan untuk menulis artikel, katanya.

Sejumlah teman termotivasi juga untuk studi lanjut ke program magister. Bertebaranlah mereka ke UI, IKIP Jakarta, dan IKIP Yogyakarta. Atas “desakan” Mas Apung, baru pada tahun 1996 saya dan beberapa teman menempuhnya di IKIP Bandung. Bagiku, hal itu berarti pulang kampung sekaligus balik ke almamater.

Pada tahun yang sama, diam-diam jebulé dia pun ambil program doktor. Terlambat memang, tapi kami beruntung mendapat beasiswa dari Ditjen Dikti. Maka jadilah kami anak-anak kos di Bandung. Secara informal, kami bikin “geng” bernama Kelompok Studi Kota Kembang. Mas Apung pemimpinnya, saya dan teman-teman anak buahnya.

Di antara teman-temanku, Mas Apung adalah supir terbagus. Nyupiré enak, berperasaan, dan mampu melelapkan tidurku. Saya tidak pernah bisa tidur di kendaraan, tapi setiap disupiri Mas Apung dan dihiasi tembang Betaria Sonata yang minta cerai itu, nyenyaklah tidurku.

Kami menempuh masa studi dalam kehangatan suhu politik menjelang dan setelah lengser Pak Harto. Waktu istirahat kami, di kamar kos, di kantin, di teras masjid, bahkan di kendaraan ulang-alik Bandung-Tegal, pasti penuh perdebatan soal masa depan republik ini. Ketika panasnya perdebatan memuncak di ubun-ubun, Mas Apung segera mengguyuri kami dengan perspektif falsafah pendidikan.

Kalau saya ditanya soal kesan mengenai Mas Apung, yang nampak di permukaan antara lain: tidak gampang tersinggung, selalu bertindak sebagai penyimpul filosofis dalam banyak perdebatan, sabar mendengarkan pembicaraan –bahkan kemarahan-- orang lain.

Bukan sekali dua kali saya menumpahkan kemarahan di hadapan dia. Cara dia menyikapi kemarahanku? Pertama, diam. Kedua, tenang. Ketiga, bertanya: sudah selesai Kang? Keempat, menganalisis sumber kemarahanku. Kelima, kami berderai tawa dan bersalaman erat-erat. Masalah tuntas.

Seperti itulah Mas Apung. Dalam soal disiplin bekerja, dia fanatik betul pada prinsip seven habits, tujuh kebiasaan baik, karya Stephen Covey. Tapi, ada satu karakter lain yang tidak selalu kusepakati: dia terlalu hati-hati hampir dalam semua hal, baik kagetori pemikiran maupun tindakan. Untuk karakternya yang satu itu, acapkali saya menyindir Mas Apung sebagai komandan yang kelamaan menimbang, mengingat, dan memperhatikan, sebelum memutuskan dan menetapkan.

Belakangan, ketika kutanggung risiko berat dari pekerjaan yang dilakukan kesusu dan kemrungsung, barulah kusadari betapa pentingnya kehati-hatian itu. Lagi-lagi Mas Apung pun mengumbar pepatah: “keledai tak pernah terperosok dua kali ke dalam lubang yang sama; manusia bukanlah keledai”. Pepatah itu akhirnya saya abadikan menjadi semacam visi ilustratif Kelompok Studi Kota Kembang.

Juni 2005, saya dan Mas Apung lulus sidang promosi Doktor Ilmu Pendidikan. Tahun 2004, dia terpilih menjadi Wawalkot mendampingi Kang AW (H. Adi Winarso, S.Sos), Walkot masa jabatan kedua. Terus terang, reorientasi pilihan karir Mas Apung dari kampus ke jabatan politik, pada awalnya sempat mengguncangkan batinku dan teman-teman.

Tapi cinta, persahabatan, dan niat baiknya untuk mengutamakan kejujuran dan kebenaran (salah satu sikap akademikus) dalam berkarya, mengharuskan kami segera memuliakan dan menyokongnya sekuat daya. Sokongan moral, tentunya.

Sebelum dan selama dia mengemban jabatan Wawalkot, naluri persahabatanku dengannya tidak lapuk karena menjauh atau lekang akibat berjarak. Begitu pula naluri kritisku. Oleh karena itu, dia rutin menyempatkan diri berdiskusi denganku.

Kondisi krusial penghidupan kerakyatan yang kusampaikan di setiap perjumpaan kami, disimak dan dipikirkannya dengan tekun. Acapkali saya ngambek di depan dia, terutama untuk bagian-bagian kebijakan pendidikan yang saya rasa kurang klop.

Kecerdasan akademik, keluasan pengalaman kepemimpinan dan jejaring sosial budaya yang dimilikinya, adalah modalitas dia untuk memahami persoalan kerakyatan di kota ini. Dia memang anak rakyat.

Saya dengar dia sedang berbenah diri untuk memasuki bursa persaingan Cawalkot. Kalau kemudian pilihan warga kota memastikan dia menjadi Walkot, saya berharap dia selalu tulus mendengar dan menghayati kehendak rakyat, lalu mencukupinya dengan tindakan konkret. Kang AW sudah mengawali dan mencontohkan pengembangan sikap dan tradisi itu.

Telah kucatat dan selalu kuingat komitmen yang pernah dilisankan Mas Apung. Dia bilang: “kita sebagai sesama pra-manula, tak punya makna yang lebih bermakna selain tekad memaknai sisa hidup ini untuk sebesar-besarnya kebermaknaan masyarakat”. Kalau begitu, selamat memperkaya makna pengabdian, dan jangan larut memperkaya diri, sahabatku.

Tesis Ucok

Desakralisasi kekuasan yang kini menggelegak di republik kita, kata Ucok (Bambang Siregar), telah mempeluangi siapa saja yang berhasrat meraih jabatan politik semisal kepala daerah. Apalagi kalau masing-masing “siapa saja” itu merasa berkecukupan modalitas sosial politik dan finansial.

Karenanya lumrahlah kalau di saat-saat menyongsong pilkada, rakyat menyaksikan maraknya ragam siasat sosialiasi dari banyak calon. Dalam keragaman siasat itu, ada satu ciri universal: semua calon menampilkan kerendahan hati dan budi terbaiknya di hadapan rakyat kecil, juga di majelis-majelis kepartaian. Sekonyong-konyong mereka empatik betul kepada kaum akar rumput.

Di dalam memori kolektif rakyat tersimpan catatan perilaku pemimpin, yang kemudian mereka jadikan benchmark calon memimpin. Tepat atau tidak cara menakar calon pemimpinnya, toh rakyat kecil di negeri ini amat teruji ketulusannya menerima kehadiran pemimpin.

Sungguh terpuji pula kerelaannya untuk dikelabui kaum elite. Bahkan naluri selektifnya pun terlampau gampang dilarutkan ke loyalitas tunggal, tanpa memiliki secuilpun daya-gugat terhadap pemimpin yang gagal. Itulah yang pernah kita saksikan di dalam bingkai kepolitikan orde baru.

Sekarang bagaimana? Ya lihat saja, dibagi kalender dan beras, rakyat menerimanya penuh sukacita. Dikasih pengobatan gratis, ya senang-senang saja. Diberondong janji-janji kopong, manggut-manggut pula mengamininya. Lantas, terhiburkah rakyat menatap warna-warni baliho dan gambar paras para calon yang dipampang di banyak tempat?

Entahlah, tapi itu semua menjadikan kampung kita tambah meriah. Jadi, tak usahlah dicabut atau dicopoti. Siapa tahu masifikasi produksi pernak-pernik properti kampanye para calon pemimpin itu menambah pekerjaan dan penghasilan rakyat. Kalau memang berkategori reklame, pungutlah pajaknya untuk rakyat. Yang penting, niat menyedot konsentrasi massa tak menjadi perusak konsentrasi pengendara dan penyeberang jalan raya.

Ketimbang memproduksi dan menebar pesan pendek untuk saling bunuh karakter antarcalon, tentu lebih elok menabur visi dan tema-tema pemekar harapan rakyat. Dadap menang, rakyat girang! Waru terpilih, rakyat miskin jadi pada sugih! Siapa tahu itu dapat mengenyangkan rakyat yang lapar, memuasi impian si miskin, dan menyemangati hidup kaum penganggur.

Lain lagi soalnya kalau sikap kepolitikan kaum akar rumput sudah tercerdaskan. Dalam kondisi demikian, visi, tema, dan guyuran sembako gratis dari para calon pemimpin itu hampir tidak menjamin penguatan ikatan emosional dan kesetiaan rakyat. Uang, beras, dan oblong, kami terima. Urusan nyoblos Si Dadap atau Si Waru, itu sih kotak hitam milik kami.

Bagi rakyat, pemberdayaan dan pemakmuran berkelanjutan lebih penting ketimbang janji-janji dan program tambal-sulam. Bukan selalu menggantungkan diri pada uluran tangan pemerintah yang menjadi cita-cita rakyat, tapi keswadayaan dan rasa percaya diri menjadi pribumi di kampungnya sendiri.

Rakyat mengidamkan bupati yang berdaya memperpendek antrean minyak tanah. Mendambakan walikota yang sanggup memelihara kesinambungan layanan kesehatan untuk si miskin. Bukan waktunya lagi para calon pemimpin memanfaatkan rakyat miskin sebagai bahan-baku pengantrol preferensi pilihannya.

Kemiskinan pun tak pantas lagi diperalat untuk mendulang suara pemilih, tapi mesti dibikin tonggak ikhtiar bagi pengentasannya. Statistik angka pengangguran yang ditilik diotak-atik bolak-balik, tentu harus dianalisis dan dipecahkan. Bukan sekadar dibikin lipstik agar ambisi menggapai jabatan politik terkesan cantik.

Kegagalan pemimpin memecahkan problem krusial kerakyatan mestinya jangan lagi dijawab dengan apologi belaka. Ya, dalih klasik yang menyiratkan kebuntuan kiat dan prakarsa pemimpin. Ketika angka pengangguran terus membubung berderet ukur, masih mungkinkah rakyat memercayai perluasan lapangan kerja yang dijanjikan calon pemimpin?

Sungguh aneh tapi tidak ajaib, bahwa kapabilitas dan integritas calon pemimpin sepenting kepala daerah tidak lebih dipentingkan ketimbang pentingnya kesediaan menebus “kemungkinan memimpin” dengan tumpukan rupiah sahaha-haha. Konon, dengan itu para calon pemimpin nyawéri rakyat, mengupahi laskar protektorat, dan menyetori pusat-pusat perekat mandat.

Bahwa hal seperti itu merupakan fakta otentik yang mewakili pepatah jer basuki mawa béa, mungkin ada benarnya. Tapi sebagai pembelajaran berdemokrasi, gejala itu sama sekali tak inheren dengan makna desakralisasi kekuasaan sebagaimana dideskripsikan Ucok.

Celaka duabelas kalau suksesi dan seleksi pemimpin selalu dilayakkan oleh ketebalan kocek dan kegemukan pundi-pundi finansial si salon pemimpin. Celaka dua kodi kalau kocek tebal dan pundi finansial itu justru disesaki oleh dana-dana kas negara, dari program-program negara yang sengaja dipribadikan, atau sokongan hasil patungan kelompok pemburu rente.

Jangan-jangan, kelak si pemimpin terpilih malah sibuk suntuk menguras enerji, menghimpun pendapatan demi mengejar setoran ongkos kemenangannya. Rakyat jualah yang bakal kena getahnya. Kalau urusan penyejahteraan rakyat diserahkan kepada pemimpin pengejar setoran, tunggu saja saat kemelaratan rakyatnya.

Saudaraku, risalah ini tak hendak menegasikan kebenaran tesis: reformasi berbuah desakralisasi kekuasaan. Yang dikuatirkan, dan memang acapkali terjadi, bahwa hal itu justru membuahkan pemimpin yang menyusahkan rakyat atau memperbanyak rakyat yang kesusahan. Sementara itu, makin berkembang sinisme bahwa walikota atau bupati di era reformasi, rata-rata cuman pintar membelanjakan duit alokasi umum.

Akhirulkalam, bukannya tesis Ucok yang kusesali, tapi nasib si akar rumput yang termarjinalisasi bertubi-tubi itulah yang kutangisi. Pokok soalnya, pantaskah proses demokratisasi hak pilih rakyat dibiarkan seiring sejalan dengan marjinalisasi hak-hak dasariah kerakyatannya?