25 Maret 2008

Tesis Ucok

Desakralisasi kekuasan yang kini menggelegak di republik kita, kata Ucok (Bambang Siregar), telah mempeluangi siapa saja yang berhasrat meraih jabatan politik semisal kepala daerah. Apalagi kalau masing-masing “siapa saja” itu merasa berkecukupan modalitas sosial politik dan finansial.

Karenanya lumrahlah kalau di saat-saat menyongsong pilkada, rakyat menyaksikan maraknya ragam siasat sosialiasi dari banyak calon. Dalam keragaman siasat itu, ada satu ciri universal: semua calon menampilkan kerendahan hati dan budi terbaiknya di hadapan rakyat kecil, juga di majelis-majelis kepartaian. Sekonyong-konyong mereka empatik betul kepada kaum akar rumput.

Di dalam memori kolektif rakyat tersimpan catatan perilaku pemimpin, yang kemudian mereka jadikan benchmark calon memimpin. Tepat atau tidak cara menakar calon pemimpinnya, toh rakyat kecil di negeri ini amat teruji ketulusannya menerima kehadiran pemimpin.

Sungguh terpuji pula kerelaannya untuk dikelabui kaum elite. Bahkan naluri selektifnya pun terlampau gampang dilarutkan ke loyalitas tunggal, tanpa memiliki secuilpun daya-gugat terhadap pemimpin yang gagal. Itulah yang pernah kita saksikan di dalam bingkai kepolitikan orde baru.

Sekarang bagaimana? Ya lihat saja, dibagi kalender dan beras, rakyat menerimanya penuh sukacita. Dikasih pengobatan gratis, ya senang-senang saja. Diberondong janji-janji kopong, manggut-manggut pula mengamininya. Lantas, terhiburkah rakyat menatap warna-warni baliho dan gambar paras para calon yang dipampang di banyak tempat?

Entahlah, tapi itu semua menjadikan kampung kita tambah meriah. Jadi, tak usahlah dicabut atau dicopoti. Siapa tahu masifikasi produksi pernak-pernik properti kampanye para calon pemimpin itu menambah pekerjaan dan penghasilan rakyat. Kalau memang berkategori reklame, pungutlah pajaknya untuk rakyat. Yang penting, niat menyedot konsentrasi massa tak menjadi perusak konsentrasi pengendara dan penyeberang jalan raya.

Ketimbang memproduksi dan menebar pesan pendek untuk saling bunuh karakter antarcalon, tentu lebih elok menabur visi dan tema-tema pemekar harapan rakyat. Dadap menang, rakyat girang! Waru terpilih, rakyat miskin jadi pada sugih! Siapa tahu itu dapat mengenyangkan rakyat yang lapar, memuasi impian si miskin, dan menyemangati hidup kaum penganggur.

Lain lagi soalnya kalau sikap kepolitikan kaum akar rumput sudah tercerdaskan. Dalam kondisi demikian, visi, tema, dan guyuran sembako gratis dari para calon pemimpin itu hampir tidak menjamin penguatan ikatan emosional dan kesetiaan rakyat. Uang, beras, dan oblong, kami terima. Urusan nyoblos Si Dadap atau Si Waru, itu sih kotak hitam milik kami.

Bagi rakyat, pemberdayaan dan pemakmuran berkelanjutan lebih penting ketimbang janji-janji dan program tambal-sulam. Bukan selalu menggantungkan diri pada uluran tangan pemerintah yang menjadi cita-cita rakyat, tapi keswadayaan dan rasa percaya diri menjadi pribumi di kampungnya sendiri.

Rakyat mengidamkan bupati yang berdaya memperpendek antrean minyak tanah. Mendambakan walikota yang sanggup memelihara kesinambungan layanan kesehatan untuk si miskin. Bukan waktunya lagi para calon pemimpin memanfaatkan rakyat miskin sebagai bahan-baku pengantrol preferensi pilihannya.

Kemiskinan pun tak pantas lagi diperalat untuk mendulang suara pemilih, tapi mesti dibikin tonggak ikhtiar bagi pengentasannya. Statistik angka pengangguran yang ditilik diotak-atik bolak-balik, tentu harus dianalisis dan dipecahkan. Bukan sekadar dibikin lipstik agar ambisi menggapai jabatan politik terkesan cantik.

Kegagalan pemimpin memecahkan problem krusial kerakyatan mestinya jangan lagi dijawab dengan apologi belaka. Ya, dalih klasik yang menyiratkan kebuntuan kiat dan prakarsa pemimpin. Ketika angka pengangguran terus membubung berderet ukur, masih mungkinkah rakyat memercayai perluasan lapangan kerja yang dijanjikan calon pemimpin?

Sungguh aneh tapi tidak ajaib, bahwa kapabilitas dan integritas calon pemimpin sepenting kepala daerah tidak lebih dipentingkan ketimbang pentingnya kesediaan menebus “kemungkinan memimpin” dengan tumpukan rupiah sahaha-haha. Konon, dengan itu para calon pemimpin nyawéri rakyat, mengupahi laskar protektorat, dan menyetori pusat-pusat perekat mandat.

Bahwa hal seperti itu merupakan fakta otentik yang mewakili pepatah jer basuki mawa béa, mungkin ada benarnya. Tapi sebagai pembelajaran berdemokrasi, gejala itu sama sekali tak inheren dengan makna desakralisasi kekuasaan sebagaimana dideskripsikan Ucok.

Celaka duabelas kalau suksesi dan seleksi pemimpin selalu dilayakkan oleh ketebalan kocek dan kegemukan pundi-pundi finansial si salon pemimpin. Celaka dua kodi kalau kocek tebal dan pundi finansial itu justru disesaki oleh dana-dana kas negara, dari program-program negara yang sengaja dipribadikan, atau sokongan hasil patungan kelompok pemburu rente.

Jangan-jangan, kelak si pemimpin terpilih malah sibuk suntuk menguras enerji, menghimpun pendapatan demi mengejar setoran ongkos kemenangannya. Rakyat jualah yang bakal kena getahnya. Kalau urusan penyejahteraan rakyat diserahkan kepada pemimpin pengejar setoran, tunggu saja saat kemelaratan rakyatnya.

Saudaraku, risalah ini tak hendak menegasikan kebenaran tesis: reformasi berbuah desakralisasi kekuasaan. Yang dikuatirkan, dan memang acapkali terjadi, bahwa hal itu justru membuahkan pemimpin yang menyusahkan rakyat atau memperbanyak rakyat yang kesusahan. Sementara itu, makin berkembang sinisme bahwa walikota atau bupati di era reformasi, rata-rata cuman pintar membelanjakan duit alokasi umum.

Akhirulkalam, bukannya tesis Ucok yang kusesali, tapi nasib si akar rumput yang termarjinalisasi bertubi-tubi itulah yang kutangisi. Pokok soalnya, pantaskah proses demokratisasi hak pilih rakyat dibiarkan seiring sejalan dengan marjinalisasi hak-hak dasariah kerakyatannya?

Tidak ada komentar: