23 Februari 2008

Kang AW Belajar Menjadi Pembelajar

T

eman-teman di Akademi Kebudayaan Tegal mencatatku sebagai salah satu dari sekian banyak responden yang dimintai kesan atas Kang AW, Walkot Tegal. Kesan-kesan itu hendak dikompilasi berbentuk buku, begitu rencananya.

Berat juga menyambut penghormatan mereka. Soalnya, antara Kang AW dan saya tak pernah melintasi tapal batas hubungan pejabat dengan rakyat. Ya, rakyat kecil nun jauh di lingkaran terluar kekuasaan. Jadi, kalaupun banyak sisi menarik dari Kang AW, terlalu sedikit yang kuketahui dan dapat kuutarakan.

Berdasar daya rekam yang amat terbatas itulah kucukupi permintaan teman-teman tadi. Sekelumit catatan subjektif yang mudah-mudahan steril dari basa-basi ketimuran --untuk tak menyebut obral puja-puji demi menyenangkan hati pemimpin.

Sepuluh tahun yang lalu, Kang AW hadir di tengah kegalauan dan euforia penguatan rakyat vis á vis negara. Itulah wujud perubahan sosial budaya (dan konstelasi politik) pascareformasi. Dia datang berbekal suasana kebatinan tentara yang secara personal dan kelembagaan baru saja melakukan reposisi, redefinisi, dan refungsionalisasi.

Saya tandang dengan langgam akademikus. Tentu saja harus senantiasa terjaga mencermati sepak-terjang kepemerintahan dalam koridor iklim reformasi. Pun harus tegar berdiri pada kontinum penguatan kesadaran korektif rakyat, dari yang paling sunyi hingga yang paling lugas-keras khas temperamen wong Tegal.

Penting betul mengatur keseimbangan posisi diriku. Di antara kewajiban silaturahmi empatik kepada umara, berbanding keterpanggilan menghayati detak jantung dan deburan hati kaum akar rumput. Detak debur yang acapkali menuntut artikulasi yang bengal sarkastik.

Sejauh yang teramati, sumber kekuasaan yang dialirkan untuk kepemimpinan dia, secara politis memang memadai. Tapi secara sosial budaya, dia tetap saja diminta memperbanyak belajar anatomi warga kota yang diayominya. Baguslah dia mau melakukan itu. Setidak-tidaknya dia kerap menyempatkan diri memasuki dan menyimak beragam arena debat kerakyatan.

Meski begitu, toh kebijakan dan beragam program yang dilancarkan untuk penyejahteraan warga kota ini tidak sunyi dari pro dan kontra. Dalam kerangka dan dinamika itulah, saya acapkali menangkap ketegangan-ketegangan akibat kritik kebijakan yang terasa bergeser atau termaknai menjadi caci maki kepada subjek pemimpin.

Saya tahu, dia cukup landung usus dan mudah likuid memaklumi pedasnya kritik atas sistem dan kebijakan. Tapi, mudah kuduga betapa sulitnya dia untuk tidak merasa tersinggung ketika menyikapi kritik yang seolah-olah bergeser ke caci maki dirinya. Walkot juga manusia, punya hati punya rasa.

Barangkali di situlah kebermaknaan hubunganku dengan dia. Hubungan yang diikat oleh kesamaan niat membelajarkan diri. Sampai kini, di ujung masa kepemimpinannya, saya tetap berposisi sebagai warga rakyat yang tidak boleh SKSD (sok kenal sok dekat) dengannya. Tidak eloklah akademikus bermesraan dengan pejabat, jangan-jangan menimbulkan bias dan purbasangka.

Pada posisi itulah saya --melalui diskursus yang disediakan oleh suratkabar dan teman-teman ornop-- dapat dengan renyah dan tanpa beban menggelitik kebijakan Pemkot. Tatkala kutangkap rasa ketersinggungan Kang AW oleh “tembakan” teman-teman, diam-diam kucairkan melalui “serangan” pesan pendek.

Kualirkan potensi luka hatinya dengan berkirim joke, humor, dan seloroh. Dia pun proaktif membalasnya. Salah satu pesan pendeknya yang sempat membangkitkan tawaku adalah teka-teki komparasi taman mini, metro mini, dan rok mini. Tidak orisinal, tapi menyegarkanlah. Pesannya yang paling menggelikanku: silakan nyalon rektor! Jawabku: saya mau nyalon kecantikan saja.

Pada pascategang tingkat tinggi, kadangkala kucoba memupusnya dengan meminta dikirim jajanan. Pernah, suatu malam dan hujan lebat, dia –atas permintaanku-- mengutus orang berkirim makanan ke rumahku. Padahal dia sendiri sedang perjalanan dinas di ibukota.

Sekali tempo dia nyelonong sendirian menenteng martabak telur kesukaannku lalu ngobrol ngalor ngidul hingga larut malam di rumahku. Keunikan tindakan seperti itu, kurasa tak jauh berbeba dari Agus “Rocker” Riyanto, Bupati Tegal yang berpostur krempeng menyaingi tubuhku.

Sungguh, kulakukan semua itu tanpa pretensi macam-macam. Menjilat pemimpin sambil membunuh karakter teman-teman sebarisan, tak berfadilah untuk hidupku. Hanya satu kesanku atas kepemimpinan dan pribadi Kang AW: punya kemauan kuat untuk belajar berkelanjutan. Itu saja!

Dengan itu, dia terus berikhtiar memperbaiki garis kebijakan dan program-program pembangunan sektoral bagi warga kota. Sekali lagi, belum semua di antara beragam program itu membuahkan perbaikan akseleratif terhadap kemiskinan, pengangguran, dan disparitas peluang perbaikan tarap hidup antarlapis masyarakat.

Saya percaya, dia akan menyiasati kondisi itu sebagai tantangan kritis di akhir masa jabatannya. Kita tentu berharap, sebelum tiba di garis finish, dia akan cuci-gudang pengabdian terbaiknya untuk rakyat. Katakanlah, keras berjuang sampai detik kewenangan yang penghabisan. Tentara adalah tentara, mungkin itulah semboyan yang –pernah kubaca di Makodim Slawi-- menyemangatinya.

Acapkali Kang AW berkomentar: tidak mudah ngurusi wong akéh, apa yang masih kurang dari saya biarlah digenapi oleh Walkot mendatang. Ya wis, belajar itu sepanjang hayat, Kang. Sebaik-baik manusia adalah yang maslahat bagi sesamanya. Khusnul khatimah itu dambaan setiap orang.

Kalau boleh mengutarakan kepentingan pribadi, dulu pernah kutelan pengalaman yang kurang menyehatkan. Pemkot atau Pak Walkot enggan mengabulkan permohonan dana bantuan penuntasan studi program doktor untukku. Kala itu, keuanganku kerontang banget.

Penuntasan wajar dikdas sembilan tahun pasti meminta perhatian lebih besar dibanding menyokong biaya penuntasan program doktor. Itu harus kumaklumi. Bahwa di belakangku berderet calon doktor yang macet studi, mudah-mudah bukan lantaran kurang uang. Keilmuan mereka tentu kontributif bagi kemajuan pendidikan di kota ini, meski suhu universitasnya demam melulu.

Ada pesan pendek yang mestinya kukirimkan di hari lepas-jabatan dia. Bunyinya mirip iklan pembunuh serangga: Walkot yang mahal, banyak; Walkot yang mau belajar dari rakyatnya, ...? Klop juga untuk dia, kalau kukutipkan pantun Rektor UPI di upacara purnabakti mahaguru: kursi ukir penghias rumah, kayu jati dibuat biduk, puncak karir yang paling indah, menikmati dan mensyukuri hidup.

Saya tak boleh berberat hati apalagi merintangi kelanjutan pilihan hidup dia. Kelak, di manapun dia akan mewakafkan dan mereguk nikmat sisa-sisa hidupnya (ya, iyalah bareng Mbak Tatik), kulminasinya tentu belajar menjadi manusia pembelajar yang suntuk mensyukuri hidup. Amboi lezat nian menghirup kehidupan tanpa target-target besar dan obsesi yang berkobar-kobar.

Tidak ada komentar: