25 Maret 2008

Mas Apung: Mengingat, Menimbang, Memperhatikan

Mas Apung (Dr. H. Maufur) adalah salah seorang di antara banyak sahabat yang menyediakan ruang hati amat luas untukku. Saya mengenal dia lalu bersahabat lumayan kental dengannya, sejak tahun 1984. Kalau tak salah, kala itu dia Kepala Lemlit UPS Tegal.

Memaklumi diriku sebagai dosen anyar di FKIP, dia rajin menyemangatiku mempertajam kapasitas akademik sekaligus menunjukkan peluang perbaikan penghasilanku. Honor mengajar yang kuterima perbulan, waktu itu, hanya setara tiga kaleng susu bayi.

Kepadaku, Mas Apung tidak memberi uang, tapi menambahi pekerjaan yang cocok dan mendatangkan uang. Maka sejumlah kegiatan diberikan kepadaku: mengonsep bahan universitaria, menulis naskah majalah kampus, mengoordinasi seminar akademik, dan meneliti. Sesekali saya pun menerima honor menulis dari Suara Merdeka.

Begitulah, persahabatan kami mengalir dalam semangat saling memberdayakan dan sarat pergulatan keilmuan. Saya pernah menjadi Pembantu Dekan Bidang Akademik ketika dia menjabat Dekan. Lalu, menjadi Kepala Lemlit ketika dia menjadi Rektor. Dia berbisik kalau menegur kelalaian kerjaku.

Seingatku, Mas Apung merupakan dosen UPS pertama yang meraih Magister Pendidikan. Sepulang sekolah, dia hibahkan (maksudku, dijual separuh harga) sebuah mesin tulis listrik kepadaku. Lumayan untuk menulis artikel, katanya.

Sejumlah teman termotivasi juga untuk studi lanjut ke program magister. Bertebaranlah mereka ke UI, IKIP Jakarta, dan IKIP Yogyakarta. Atas “desakan” Mas Apung, baru pada tahun 1996 saya dan beberapa teman menempuhnya di IKIP Bandung. Bagiku, hal itu berarti pulang kampung sekaligus balik ke almamater.

Pada tahun yang sama, diam-diam jebulé dia pun ambil program doktor. Terlambat memang, tapi kami beruntung mendapat beasiswa dari Ditjen Dikti. Maka jadilah kami anak-anak kos di Bandung. Secara informal, kami bikin “geng” bernama Kelompok Studi Kota Kembang. Mas Apung pemimpinnya, saya dan teman-teman anak buahnya.

Di antara teman-temanku, Mas Apung adalah supir terbagus. Nyupiré enak, berperasaan, dan mampu melelapkan tidurku. Saya tidak pernah bisa tidur di kendaraan, tapi setiap disupiri Mas Apung dan dihiasi tembang Betaria Sonata yang minta cerai itu, nyenyaklah tidurku.

Kami menempuh masa studi dalam kehangatan suhu politik menjelang dan setelah lengser Pak Harto. Waktu istirahat kami, di kamar kos, di kantin, di teras masjid, bahkan di kendaraan ulang-alik Bandung-Tegal, pasti penuh perdebatan soal masa depan republik ini. Ketika panasnya perdebatan memuncak di ubun-ubun, Mas Apung segera mengguyuri kami dengan perspektif falsafah pendidikan.

Kalau saya ditanya soal kesan mengenai Mas Apung, yang nampak di permukaan antara lain: tidak gampang tersinggung, selalu bertindak sebagai penyimpul filosofis dalam banyak perdebatan, sabar mendengarkan pembicaraan –bahkan kemarahan-- orang lain.

Bukan sekali dua kali saya menumpahkan kemarahan di hadapan dia. Cara dia menyikapi kemarahanku? Pertama, diam. Kedua, tenang. Ketiga, bertanya: sudah selesai Kang? Keempat, menganalisis sumber kemarahanku. Kelima, kami berderai tawa dan bersalaman erat-erat. Masalah tuntas.

Seperti itulah Mas Apung. Dalam soal disiplin bekerja, dia fanatik betul pada prinsip seven habits, tujuh kebiasaan baik, karya Stephen Covey. Tapi, ada satu karakter lain yang tidak selalu kusepakati: dia terlalu hati-hati hampir dalam semua hal, baik kagetori pemikiran maupun tindakan. Untuk karakternya yang satu itu, acapkali saya menyindir Mas Apung sebagai komandan yang kelamaan menimbang, mengingat, dan memperhatikan, sebelum memutuskan dan menetapkan.

Belakangan, ketika kutanggung risiko berat dari pekerjaan yang dilakukan kesusu dan kemrungsung, barulah kusadari betapa pentingnya kehati-hatian itu. Lagi-lagi Mas Apung pun mengumbar pepatah: “keledai tak pernah terperosok dua kali ke dalam lubang yang sama; manusia bukanlah keledai”. Pepatah itu akhirnya saya abadikan menjadi semacam visi ilustratif Kelompok Studi Kota Kembang.

Juni 2005, saya dan Mas Apung lulus sidang promosi Doktor Ilmu Pendidikan. Tahun 2004, dia terpilih menjadi Wawalkot mendampingi Kang AW (H. Adi Winarso, S.Sos), Walkot masa jabatan kedua. Terus terang, reorientasi pilihan karir Mas Apung dari kampus ke jabatan politik, pada awalnya sempat mengguncangkan batinku dan teman-teman.

Tapi cinta, persahabatan, dan niat baiknya untuk mengutamakan kejujuran dan kebenaran (salah satu sikap akademikus) dalam berkarya, mengharuskan kami segera memuliakan dan menyokongnya sekuat daya. Sokongan moral, tentunya.

Sebelum dan selama dia mengemban jabatan Wawalkot, naluri persahabatanku dengannya tidak lapuk karena menjauh atau lekang akibat berjarak. Begitu pula naluri kritisku. Oleh karena itu, dia rutin menyempatkan diri berdiskusi denganku.

Kondisi krusial penghidupan kerakyatan yang kusampaikan di setiap perjumpaan kami, disimak dan dipikirkannya dengan tekun. Acapkali saya ngambek di depan dia, terutama untuk bagian-bagian kebijakan pendidikan yang saya rasa kurang klop.

Kecerdasan akademik, keluasan pengalaman kepemimpinan dan jejaring sosial budaya yang dimilikinya, adalah modalitas dia untuk memahami persoalan kerakyatan di kota ini. Dia memang anak rakyat.

Saya dengar dia sedang berbenah diri untuk memasuki bursa persaingan Cawalkot. Kalau kemudian pilihan warga kota memastikan dia menjadi Walkot, saya berharap dia selalu tulus mendengar dan menghayati kehendak rakyat, lalu mencukupinya dengan tindakan konkret. Kang AW sudah mengawali dan mencontohkan pengembangan sikap dan tradisi itu.

Telah kucatat dan selalu kuingat komitmen yang pernah dilisankan Mas Apung. Dia bilang: “kita sebagai sesama pra-manula, tak punya makna yang lebih bermakna selain tekad memaknai sisa hidup ini untuk sebesar-besarnya kebermaknaan masyarakat”. Kalau begitu, selamat memperkaya makna pengabdian, dan jangan larut memperkaya diri, sahabatku.

Tesis Ucok

Desakralisasi kekuasan yang kini menggelegak di republik kita, kata Ucok (Bambang Siregar), telah mempeluangi siapa saja yang berhasrat meraih jabatan politik semisal kepala daerah. Apalagi kalau masing-masing “siapa saja” itu merasa berkecukupan modalitas sosial politik dan finansial.

Karenanya lumrahlah kalau di saat-saat menyongsong pilkada, rakyat menyaksikan maraknya ragam siasat sosialiasi dari banyak calon. Dalam keragaman siasat itu, ada satu ciri universal: semua calon menampilkan kerendahan hati dan budi terbaiknya di hadapan rakyat kecil, juga di majelis-majelis kepartaian. Sekonyong-konyong mereka empatik betul kepada kaum akar rumput.

Di dalam memori kolektif rakyat tersimpan catatan perilaku pemimpin, yang kemudian mereka jadikan benchmark calon memimpin. Tepat atau tidak cara menakar calon pemimpinnya, toh rakyat kecil di negeri ini amat teruji ketulusannya menerima kehadiran pemimpin.

Sungguh terpuji pula kerelaannya untuk dikelabui kaum elite. Bahkan naluri selektifnya pun terlampau gampang dilarutkan ke loyalitas tunggal, tanpa memiliki secuilpun daya-gugat terhadap pemimpin yang gagal. Itulah yang pernah kita saksikan di dalam bingkai kepolitikan orde baru.

Sekarang bagaimana? Ya lihat saja, dibagi kalender dan beras, rakyat menerimanya penuh sukacita. Dikasih pengobatan gratis, ya senang-senang saja. Diberondong janji-janji kopong, manggut-manggut pula mengamininya. Lantas, terhiburkah rakyat menatap warna-warni baliho dan gambar paras para calon yang dipampang di banyak tempat?

Entahlah, tapi itu semua menjadikan kampung kita tambah meriah. Jadi, tak usahlah dicabut atau dicopoti. Siapa tahu masifikasi produksi pernak-pernik properti kampanye para calon pemimpin itu menambah pekerjaan dan penghasilan rakyat. Kalau memang berkategori reklame, pungutlah pajaknya untuk rakyat. Yang penting, niat menyedot konsentrasi massa tak menjadi perusak konsentrasi pengendara dan penyeberang jalan raya.

Ketimbang memproduksi dan menebar pesan pendek untuk saling bunuh karakter antarcalon, tentu lebih elok menabur visi dan tema-tema pemekar harapan rakyat. Dadap menang, rakyat girang! Waru terpilih, rakyat miskin jadi pada sugih! Siapa tahu itu dapat mengenyangkan rakyat yang lapar, memuasi impian si miskin, dan menyemangati hidup kaum penganggur.

Lain lagi soalnya kalau sikap kepolitikan kaum akar rumput sudah tercerdaskan. Dalam kondisi demikian, visi, tema, dan guyuran sembako gratis dari para calon pemimpin itu hampir tidak menjamin penguatan ikatan emosional dan kesetiaan rakyat. Uang, beras, dan oblong, kami terima. Urusan nyoblos Si Dadap atau Si Waru, itu sih kotak hitam milik kami.

Bagi rakyat, pemberdayaan dan pemakmuran berkelanjutan lebih penting ketimbang janji-janji dan program tambal-sulam. Bukan selalu menggantungkan diri pada uluran tangan pemerintah yang menjadi cita-cita rakyat, tapi keswadayaan dan rasa percaya diri menjadi pribumi di kampungnya sendiri.

Rakyat mengidamkan bupati yang berdaya memperpendek antrean minyak tanah. Mendambakan walikota yang sanggup memelihara kesinambungan layanan kesehatan untuk si miskin. Bukan waktunya lagi para calon pemimpin memanfaatkan rakyat miskin sebagai bahan-baku pengantrol preferensi pilihannya.

Kemiskinan pun tak pantas lagi diperalat untuk mendulang suara pemilih, tapi mesti dibikin tonggak ikhtiar bagi pengentasannya. Statistik angka pengangguran yang ditilik diotak-atik bolak-balik, tentu harus dianalisis dan dipecahkan. Bukan sekadar dibikin lipstik agar ambisi menggapai jabatan politik terkesan cantik.

Kegagalan pemimpin memecahkan problem krusial kerakyatan mestinya jangan lagi dijawab dengan apologi belaka. Ya, dalih klasik yang menyiratkan kebuntuan kiat dan prakarsa pemimpin. Ketika angka pengangguran terus membubung berderet ukur, masih mungkinkah rakyat memercayai perluasan lapangan kerja yang dijanjikan calon pemimpin?

Sungguh aneh tapi tidak ajaib, bahwa kapabilitas dan integritas calon pemimpin sepenting kepala daerah tidak lebih dipentingkan ketimbang pentingnya kesediaan menebus “kemungkinan memimpin” dengan tumpukan rupiah sahaha-haha. Konon, dengan itu para calon pemimpin nyawéri rakyat, mengupahi laskar protektorat, dan menyetori pusat-pusat perekat mandat.

Bahwa hal seperti itu merupakan fakta otentik yang mewakili pepatah jer basuki mawa béa, mungkin ada benarnya. Tapi sebagai pembelajaran berdemokrasi, gejala itu sama sekali tak inheren dengan makna desakralisasi kekuasaan sebagaimana dideskripsikan Ucok.

Celaka duabelas kalau suksesi dan seleksi pemimpin selalu dilayakkan oleh ketebalan kocek dan kegemukan pundi-pundi finansial si salon pemimpin. Celaka dua kodi kalau kocek tebal dan pundi finansial itu justru disesaki oleh dana-dana kas negara, dari program-program negara yang sengaja dipribadikan, atau sokongan hasil patungan kelompok pemburu rente.

Jangan-jangan, kelak si pemimpin terpilih malah sibuk suntuk menguras enerji, menghimpun pendapatan demi mengejar setoran ongkos kemenangannya. Rakyat jualah yang bakal kena getahnya. Kalau urusan penyejahteraan rakyat diserahkan kepada pemimpin pengejar setoran, tunggu saja saat kemelaratan rakyatnya.

Saudaraku, risalah ini tak hendak menegasikan kebenaran tesis: reformasi berbuah desakralisasi kekuasaan. Yang dikuatirkan, dan memang acapkali terjadi, bahwa hal itu justru membuahkan pemimpin yang menyusahkan rakyat atau memperbanyak rakyat yang kesusahan. Sementara itu, makin berkembang sinisme bahwa walikota atau bupati di era reformasi, rata-rata cuman pintar membelanjakan duit alokasi umum.

Akhirulkalam, bukannya tesis Ucok yang kusesali, tapi nasib si akar rumput yang termarjinalisasi bertubi-tubi itulah yang kutangisi. Pokok soalnya, pantaskah proses demokratisasi hak pilih rakyat dibiarkan seiring sejalan dengan marjinalisasi hak-hak dasariah kerakyatannya?

23 Februari 2008

Kang AW Belajar Menjadi Pembelajar

T

eman-teman di Akademi Kebudayaan Tegal mencatatku sebagai salah satu dari sekian banyak responden yang dimintai kesan atas Kang AW, Walkot Tegal. Kesan-kesan itu hendak dikompilasi berbentuk buku, begitu rencananya.

Berat juga menyambut penghormatan mereka. Soalnya, antara Kang AW dan saya tak pernah melintasi tapal batas hubungan pejabat dengan rakyat. Ya, rakyat kecil nun jauh di lingkaran terluar kekuasaan. Jadi, kalaupun banyak sisi menarik dari Kang AW, terlalu sedikit yang kuketahui dan dapat kuutarakan.

Berdasar daya rekam yang amat terbatas itulah kucukupi permintaan teman-teman tadi. Sekelumit catatan subjektif yang mudah-mudahan steril dari basa-basi ketimuran --untuk tak menyebut obral puja-puji demi menyenangkan hati pemimpin.

Sepuluh tahun yang lalu, Kang AW hadir di tengah kegalauan dan euforia penguatan rakyat vis á vis negara. Itulah wujud perubahan sosial budaya (dan konstelasi politik) pascareformasi. Dia datang berbekal suasana kebatinan tentara yang secara personal dan kelembagaan baru saja melakukan reposisi, redefinisi, dan refungsionalisasi.

Saya tandang dengan langgam akademikus. Tentu saja harus senantiasa terjaga mencermati sepak-terjang kepemerintahan dalam koridor iklim reformasi. Pun harus tegar berdiri pada kontinum penguatan kesadaran korektif rakyat, dari yang paling sunyi hingga yang paling lugas-keras khas temperamen wong Tegal.

Penting betul mengatur keseimbangan posisi diriku. Di antara kewajiban silaturahmi empatik kepada umara, berbanding keterpanggilan menghayati detak jantung dan deburan hati kaum akar rumput. Detak debur yang acapkali menuntut artikulasi yang bengal sarkastik.

Sejauh yang teramati, sumber kekuasaan yang dialirkan untuk kepemimpinan dia, secara politis memang memadai. Tapi secara sosial budaya, dia tetap saja diminta memperbanyak belajar anatomi warga kota yang diayominya. Baguslah dia mau melakukan itu. Setidak-tidaknya dia kerap menyempatkan diri memasuki dan menyimak beragam arena debat kerakyatan.

Meski begitu, toh kebijakan dan beragam program yang dilancarkan untuk penyejahteraan warga kota ini tidak sunyi dari pro dan kontra. Dalam kerangka dan dinamika itulah, saya acapkali menangkap ketegangan-ketegangan akibat kritik kebijakan yang terasa bergeser atau termaknai menjadi caci maki kepada subjek pemimpin.

Saya tahu, dia cukup landung usus dan mudah likuid memaklumi pedasnya kritik atas sistem dan kebijakan. Tapi, mudah kuduga betapa sulitnya dia untuk tidak merasa tersinggung ketika menyikapi kritik yang seolah-olah bergeser ke caci maki dirinya. Walkot juga manusia, punya hati punya rasa.

Barangkali di situlah kebermaknaan hubunganku dengan dia. Hubungan yang diikat oleh kesamaan niat membelajarkan diri. Sampai kini, di ujung masa kepemimpinannya, saya tetap berposisi sebagai warga rakyat yang tidak boleh SKSD (sok kenal sok dekat) dengannya. Tidak eloklah akademikus bermesraan dengan pejabat, jangan-jangan menimbulkan bias dan purbasangka.

Pada posisi itulah saya --melalui diskursus yang disediakan oleh suratkabar dan teman-teman ornop-- dapat dengan renyah dan tanpa beban menggelitik kebijakan Pemkot. Tatkala kutangkap rasa ketersinggungan Kang AW oleh “tembakan” teman-teman, diam-diam kucairkan melalui “serangan” pesan pendek.

Kualirkan potensi luka hatinya dengan berkirim joke, humor, dan seloroh. Dia pun proaktif membalasnya. Salah satu pesan pendeknya yang sempat membangkitkan tawaku adalah teka-teki komparasi taman mini, metro mini, dan rok mini. Tidak orisinal, tapi menyegarkanlah. Pesannya yang paling menggelikanku: silakan nyalon rektor! Jawabku: saya mau nyalon kecantikan saja.

Pada pascategang tingkat tinggi, kadangkala kucoba memupusnya dengan meminta dikirim jajanan. Pernah, suatu malam dan hujan lebat, dia –atas permintaanku-- mengutus orang berkirim makanan ke rumahku. Padahal dia sendiri sedang perjalanan dinas di ibukota.

Sekali tempo dia nyelonong sendirian menenteng martabak telur kesukaannku lalu ngobrol ngalor ngidul hingga larut malam di rumahku. Keunikan tindakan seperti itu, kurasa tak jauh berbeba dari Agus “Rocker” Riyanto, Bupati Tegal yang berpostur krempeng menyaingi tubuhku.

Sungguh, kulakukan semua itu tanpa pretensi macam-macam. Menjilat pemimpin sambil membunuh karakter teman-teman sebarisan, tak berfadilah untuk hidupku. Hanya satu kesanku atas kepemimpinan dan pribadi Kang AW: punya kemauan kuat untuk belajar berkelanjutan. Itu saja!

Dengan itu, dia terus berikhtiar memperbaiki garis kebijakan dan program-program pembangunan sektoral bagi warga kota. Sekali lagi, belum semua di antara beragam program itu membuahkan perbaikan akseleratif terhadap kemiskinan, pengangguran, dan disparitas peluang perbaikan tarap hidup antarlapis masyarakat.

Saya percaya, dia akan menyiasati kondisi itu sebagai tantangan kritis di akhir masa jabatannya. Kita tentu berharap, sebelum tiba di garis finish, dia akan cuci-gudang pengabdian terbaiknya untuk rakyat. Katakanlah, keras berjuang sampai detik kewenangan yang penghabisan. Tentara adalah tentara, mungkin itulah semboyan yang –pernah kubaca di Makodim Slawi-- menyemangatinya.

Acapkali Kang AW berkomentar: tidak mudah ngurusi wong akéh, apa yang masih kurang dari saya biarlah digenapi oleh Walkot mendatang. Ya wis, belajar itu sepanjang hayat, Kang. Sebaik-baik manusia adalah yang maslahat bagi sesamanya. Khusnul khatimah itu dambaan setiap orang.

Kalau boleh mengutarakan kepentingan pribadi, dulu pernah kutelan pengalaman yang kurang menyehatkan. Pemkot atau Pak Walkot enggan mengabulkan permohonan dana bantuan penuntasan studi program doktor untukku. Kala itu, keuanganku kerontang banget.

Penuntasan wajar dikdas sembilan tahun pasti meminta perhatian lebih besar dibanding menyokong biaya penuntasan program doktor. Itu harus kumaklumi. Bahwa di belakangku berderet calon doktor yang macet studi, mudah-mudah bukan lantaran kurang uang. Keilmuan mereka tentu kontributif bagi kemajuan pendidikan di kota ini, meski suhu universitasnya demam melulu.

Ada pesan pendek yang mestinya kukirimkan di hari lepas-jabatan dia. Bunyinya mirip iklan pembunuh serangga: Walkot yang mahal, banyak; Walkot yang mau belajar dari rakyatnya, ...? Klop juga untuk dia, kalau kukutipkan pantun Rektor UPI di upacara purnabakti mahaguru: kursi ukir penghias rumah, kayu jati dibuat biduk, puncak karir yang paling indah, menikmati dan mensyukuri hidup.

Saya tak boleh berberat hati apalagi merintangi kelanjutan pilihan hidup dia. Kelak, di manapun dia akan mewakafkan dan mereguk nikmat sisa-sisa hidupnya (ya, iyalah bareng Mbak Tatik), kulminasinya tentu belajar menjadi manusia pembelajar yang suntuk mensyukuri hidup. Amboi lezat nian menghirup kehidupan tanpa target-target besar dan obsesi yang berkobar-kobar.

22 Februari 2008

Militer, Sipil, Militer Siiip…?

Setuju atau tidak, isu walkot militer dan walkot sipil untuk kota Tegal, kayongé masih menarik diperdebatkan. Setidak-tidaknya diperoleh perbandingan dua kutub perspektif itu dalam kerangka pembangunan kota Tegal.

Tadinya saya berharap mendapatkan perbandingan itu dari forum dialog figur publik Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Muhammadiyah Kota Tegal, Ahad pagi yang lalu. Meski tidak mendapatkannya, toh saya tidak boleh kecewa apalagi mengurangi apresiasi terhadap proses dialog yang cukup produktif itu.

Diketengahkannya isu calon walkot sipil vs militer di dalam kerangka proses dan produk pilkada kota Tegal mendatang, sesungguhnya hanya karena pesan ringkas yang saya terima. Ya, pesan ringkas tanggal 6/02/08, pukul 01.14 itu mengabarkan hasil survey independen: pemeringkatan lima kanditat walkot Tegal.

Kata si pengirim pesan, survey meliput empat kecamatan. Tidak jauh dari spekulasi awal saya, hasil survey itu menempatkan kandidat yang berlatar karir militer di peringkat pertama! Apa makna sosial budaya dari hasil survey itu?

Model klasik “politik aliran” dirasakan telah kehilangan relevansi untuk membedah konstelasi masyarakat kota Tegal. Maka anatonomi sosiologis warga kota Tegal saya konfigurasikan saja ke dalam segitiga sama sisi. Segitiga itu dipilah menjadi tiga bagian horisontal sehingga merepresentasi tiga lapis masyarakat.

Lapis bawah yang paling lebar berisi masyarakat akar rumput. Aspirasi utama di lapis ini berkisar pada teramankannya pemenuhan kebutuhan dasar hidup. Posisi tawar mereka dalam kerangka kebijakan pembangunan, relatif rendah.

Lapis kedua berada di tengah, berisi populasi masyarakat yang kritis dan memiliki daya tekan lumayan signifikan. Aspirasi mereka sudah melampaui urusan lapis bawah, dalam arti telah menjangkau urgensi penyadaran kolektif mengenai ekologi, tata kelola sumberdaya daerah, HAM, partisipasi pengambilan keputusan publik, dan seterusnya.

Lapis puncak, populasinya sedikit tetapi aksesibilitas dan daya paksanya terhadap pengambil kebijakan, cukup efektif. Jelas, aspirasinya berkisar pada kemudahan memperoleh beragam peluang penguatan kapasitas sosial ekonomi melalui konsesi-konsesi yang dijatahkan oleh pengambil kebijakan.

Kalau lapis-lapis masyarakat itu disurvey atau dijajaki pendapatnya mengenai profil walkot mendatang, tentu preferensinya akan beragam pula. Bincang-bincang ihwal jajak pendapat, Emmanuel Subangun (2004) memberi catatan bahwa di Indonesia, kepentingan dan minat warga tidak pernah berjalan lurus dengan ekspresi politiknya.

Antara politik dengan struktur sosiokultural dan ekonomi tidak ada garis sebab akibat, tetapi hanya hubungan koefisien. Artinya, tulis Subangun, tingkat presisi analisis sangat ditentukan oleh kemampuan untuk membentuk sampling frame yang benar.

Ratusan variabel sosial, ekonomi, dan budaya harus ditimbang terus-menerus untuk mendapatkan sampel yang mewakili populasi pemilih. Jajak pendapat secara berkala yang dilakukan dengan desain riset yang lemah, hanya akan menjadikan hasil riset bergerak ke arah kesalahkaprahan.

Dengan asumsi bahwa hasil survey yang saya terima itu ditopang oleh kebulatan desain riset dan kecermatan pemaknaan atas hasil analisis datanya, maka preferensi para responden tadi dapat dikonfirmasi dengan banyak aspek faktual.

Pertama, mengisyaratkan bahwa sosok pemimpin berlatar militer masih dibutuhkan oleh sebagian warga kota ini. Suatu kebutuhan yang biasanya lekat dengan tema-tema pemeliharaan iklim kondusif, pencegahan kerawanan dan dinamika sosial yang berpotensi destruktif.

Meski militer secara kelembagaan dan personal di era reformasi telah melakukan redefinisi dan reposisi, toh hasil survey ini menyiratkan makna masih kentalnya personifikasi militer sebagai kekuatan pengaman dan penertib.

Masihkah kesan security approach --yang di masa orde baru cukup ampuh menangkal dan menindak unsur-unsur antistabilitas— melekat kuat di hati masyarakat? Entahlah, tetapi “iklan” Pak Wiranto yang menawarkan pemerintahan yang kuat dan tegas, misalnya, pasti diberangkatkan dari suasana kebatinan (termasuk kekuatiran digusur dan dimarjinalisasi) masyarakat sekarang.

Kedua, ada umpan balik yang berharga bagi para kandidat walkot berlatar sipil yang sejauh ini begitu suntuk bersosialisasi diri membangun kohesivitas dukungan masyarakat. Dengan umpan balik itu, mereka mesti berupaya mengefektifkan pendekatan dan siasat silaturahminya.

Ketiga, memupus kerinduan sebagian masyarakat lapis tengah termasuk akademisi akan hadirnya walkot dari kalangan sipil. Kerinduan yang lazim dilandasi argumen civil society dalam makna penguatan peran kaum sipil di pentas jabatan politik. Bisa juga “melawan mitos” atau mementahkan tradisi lama, bahkan alergi terhadap “tensi” khas militer.

Sampai di sini, perdebatan mengenai walkot militer versus walkot sipil telah menemukan jawaban sementara. Lebih menarik kalau didiskusikan pula konsep-konsep semisal kepemimpinan sipil yang militeristik, doktrin militer, militansi manajer, dan model manajemen militer.

Kembali ke soal survey tadi, hendaknya dipahami sebagai ikhtiar pencarian kebenaran empirik yang tarap signifikansinya tidak pernah mutlak 100%. Dari situ dihimpun informasi dan bahan-bahan tindakan strategik bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

Anis Yahya (NP 6/02/08) menulis: “… di mana logika kebaikan dan kejahatan tersamarkan oleh kepentingan, maka kemenangan bergantung kepada penciptaan pengaruh melalui pemenuhan beragam kebutuhan masyarakat yang paling mendasar”.

Di dalam bingkai logika pilkada langsung (mudah-mudahan minus logika kejahatan, Nis), banyak faktor dan vektor yang –meminta kecerdasan kalkulatif-- memungkinkan hal-hal yang tidak mungkin menjadi mungkin atau sebaliknya.

Di atas kalkulasi itu, segala kemungkinan hanya dimungkinkan ketika diperoleh hasil final penghitungan suara. Kita lihat saja nanti, militerkah, sipilkah, atau militer siiip…deh? Yang pasti, hari-H dan detik-D pilkada kota ini belum tiba, dan kini kita tengah menikmati ujung masa kepemimpinan Kang AW, walkot yang berlatar tentara. Wassalam.

Rektor UPS Tegal harus "MM"

Peta perjalanan UPS Tegal 15-20 tahun ke depan tidak terkelupas dari isu-isu kebijakan pendidikan tinggi (dikti) tingkat makro dan aspirasi stakehoders. Secara makro, kehidupan perguruan tinggi (PT) di Indonesia berhadapan dengan empat tantangan krusial.
Pertama, tantangan peningkatan nilai tambah dalam kerangka peningkatan produktivitas nasional, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi sebagai upaya memelihara dan meningkatkan pembangunan berkelanjutan.
Kedua, tantangan untuk pengkajian dan penelitian secara komprehensif dan mendalam terhadap transformasi struktur masyarakat, dari tradisional ke modern, dari agraris ke industri dan informasi, serta implikasinya bagi pengembangan sumberdaya manusia PT.
Ketiga, tantangan persaingan global yang makin ketat. Kecenderungan ini melahirkan persoalan peningkatan daya saing bangsa dalam menghasilkan karya-karya yang berkualitas unggul sebagai manfaat dari penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Keempat, munculnya kolonialisme baru di bidang iptek, informasi, dan ekonomi, menggantikan kolonialisme politik. Masalah dan tantangan ini menuntut kaum intelektual PT memperluas wawasan pengetahuan, wawasan keunggulan, keahlian profesional, dan mutu keterampilan manajerialnya.
Untuk menjawab tantangan itu, Zein (2000) menawarkan transformasi pendidikan. Modalitas utama transformasi, menurut Gerstmer (1995), adalah kebebasan lembaga pendidikan untuk menetapkan sasaran dan kinerja serta cara-cara pencapaiannya.
Implikasinya, perlu paradigma debirokratisasi dikti, diimbangi dengan memperbanyak peluang pemberdayaan-diri kelembagaan dikti dengan segala perangkat penyokongnya.
Sekaitan dengan itu, pengembangan PT --sebagai komponen strategik pembangunan berbagai sektor kehidupan-- harus diorientasikan kepada tiga dimensi transformasi. Pertama, transformasi kelembagaan PT. Jangkauan tranformasi ini meliputi tingkat kelembagaan, tingkat nasional, dan tingkat global.
Kedua, transformasi riset dan publikasi ilmiah. Akademisi harus meningkatkan karya dan rekacipta inovatif yang fungsional bagi pengembangan iptek dan kesejahteraan masyarakat. Tradisi kelisanan hendaknya ditransformasi menjadi tradisi literasi melalui penelitian, penulisan, dan publikasi.
Ketiga, transformasi pembelajaran yang didasari: (1) learning to think; (2) learning to do; (3) learning to be; dan (4) learning to live together. Pilar-pilar pembelajaran tersebut merupakan sokoguru manusia abad ke-21 untuk merespons arus informasi dan transformasi kehidupan yang berubah secara berkelanjutan.
Peluang pemberdayaan-diri kelembagaan dikti, bermakna mendorong dan menciptakan iklim kondusif bagi terpeliharanya otonomi keilmuan, otonomi pengelolaan pendidikan, dan otonomi pengelolaan kelembagaan.
Di dalam agenda reformasi pendidikan, tiga dimensi otonomi PT itu dikategorikan sebagai demokratisasi pengelolaan pendidikan, yang tidak terpisahkan dari penciptaan kesetaraan PTN-PTS, dan peningkatan daya saing PT dalam negeri terhadap PT di negara-negara lain.
Dimensi-dimensi otonomi PT memiliki pijakan hukum sebagaimana ditandaskan oleh UU Sisdiknas, yaitu: (1) dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan pada PT berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan (Pasal 24, ayat 1);
(2) PT memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan dikti, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat (Pasal 24, ayat 2);
(3) PT dapat memperoleh sumber dana dari masyarakat yang pengelolaannya dilakukan berdasarkan prinsip akuntablitas publik (Pasal 24, ayat 3); (4) PT menentukan kebijakan dan memiliki otonomi untuk mengelola pendidikan di lembaganya (Pasal 50, ayat 6);
(5) pengelolaan satuan dikti dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan (Pasal 51, ayat 2)
Otonomi yang diamanatkan oleh UU Sisdiknas dimaksudkan agar PT mampu memberikan pelayanan pendidikan yang prima kepada mahasiswa, melahirkan lulusan bermutu dan relevan dengan kebutuhan masyarakat, dan mampu bersaing dalam era globalisasi.
Dari perspektif pengorganisasian PT, transformasi itu erat kaitannya dengan agenda reformasi pendidikan. Esensi reformasi pendidikan di ranah kultural adalah mengembangkan norma baru tentang peran dan perilaku, mengembangkan dan membiasakan sistem kolaborasi dalam proses pembelajaran.
Duderstadt (2003) menyarakan langkah-langkah transformasi PT sebagai berikut: (1) tentukan peran dan nilai utama PT yang harus dilindungi dan dipertahankan selama masa transformasi;
(2) pahami perubahan kebutuhan, harapan, dan persepsi masyarakat tcrhadap PT; (3) persiapkan PT sebaik¬-baiknya untuk menghadapi perubahan dan persaingan; (4) lakukan restrukturisasi pimpinan PT beserta jajarannya;
(5) susun paradigma baru pendanaan PT; (6) lakukan eksperimen paradigma baru dalam kegiatan belajar-mengajar, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat; (7) jalin hubungan baik antar-PT, PT dengan sektor-sektor non-PT seperti dunia usaha, lembaga riset, lembaga teknologi informasi, dan sejenisnya.
Strategi reposisi dan pencitraan publik yang telah ditempuh rektor terdahulu, masih menyisakan tiga item yang harus ditindaklanjuti: (1) implementasi konsep pendidikan berorientasi kewirausahaan; (2) manajemen layanan akademik berbasis teknologi informasi; dan (3) maksimalisasi kemampulabaan.
Dalam konstelasi itu, Rektor UPS Tegal masa depan harus “MM”. “MM” pertama, kemampuan mengkonseptualisasi dan mengkontekstualisasi isu kebijakan dan tantangan makro dikti ke dalam program-program pengembangan akademik –think globally, act locally.
“MM” kedua, melek mutu. Idealnya, kapasitas Rektor UPS Tegal merepresentasi kebulatan integratif dan agregatif sebagai pengembang ilmu, leader dan manajer dikti. Kebulatan tiga kapasitas itu dicurahkan sebesar-besarnya untuk perbaikan mutu komponen sistem dan kinerja sistem pendidikan UPS Tegal, serta intens menebar wacana intelektual yang konstruktif.
Tentu saja aktualisasi kepemimpinan rektor itu memerlukan visi dan atmosfer kelembagaan YPP yang telah rekonsialiasi paripurna. Dalam atmosfer konflik dikotomik YPP Si Dadap vis á vis YPP Si Waru, suasana kebatinan Rektor UPS terpilih nanti ibarat gubug yang dibangun di atas lahan sengketa.
Pokok soalnya, bukan YPP mana yang paling absah secara yuridis, tetapi secara faktual ada dua YPP yang masing-masing beritikad memakmurkan UPS Tegal. Kalau begitu, hanya ada satu kata kunci yang layak dihayati bersama untuk menyemangati rekonsiliasi.
Kata kunci itu adalah legawa, lapang hati demi mengejawantahkan itikad baik tadi. Sekali lagi, seluruh sivitas akademika dan warga kota Tegal sangat gundah menanti buah rekonsialiasi yang paling indah. Ya, sebagai milestones, titik berangkat Rektor UPS mendatang. Semoga!