22 Februari 2008

Militer, Sipil, Militer Siiip…?

Setuju atau tidak, isu walkot militer dan walkot sipil untuk kota Tegal, kayongé masih menarik diperdebatkan. Setidak-tidaknya diperoleh perbandingan dua kutub perspektif itu dalam kerangka pembangunan kota Tegal.

Tadinya saya berharap mendapatkan perbandingan itu dari forum dialog figur publik Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Muhammadiyah Kota Tegal, Ahad pagi yang lalu. Meski tidak mendapatkannya, toh saya tidak boleh kecewa apalagi mengurangi apresiasi terhadap proses dialog yang cukup produktif itu.

Diketengahkannya isu calon walkot sipil vs militer di dalam kerangka proses dan produk pilkada kota Tegal mendatang, sesungguhnya hanya karena pesan ringkas yang saya terima. Ya, pesan ringkas tanggal 6/02/08, pukul 01.14 itu mengabarkan hasil survey independen: pemeringkatan lima kanditat walkot Tegal.

Kata si pengirim pesan, survey meliput empat kecamatan. Tidak jauh dari spekulasi awal saya, hasil survey itu menempatkan kandidat yang berlatar karir militer di peringkat pertama! Apa makna sosial budaya dari hasil survey itu?

Model klasik “politik aliran” dirasakan telah kehilangan relevansi untuk membedah konstelasi masyarakat kota Tegal. Maka anatonomi sosiologis warga kota Tegal saya konfigurasikan saja ke dalam segitiga sama sisi. Segitiga itu dipilah menjadi tiga bagian horisontal sehingga merepresentasi tiga lapis masyarakat.

Lapis bawah yang paling lebar berisi masyarakat akar rumput. Aspirasi utama di lapis ini berkisar pada teramankannya pemenuhan kebutuhan dasar hidup. Posisi tawar mereka dalam kerangka kebijakan pembangunan, relatif rendah.

Lapis kedua berada di tengah, berisi populasi masyarakat yang kritis dan memiliki daya tekan lumayan signifikan. Aspirasi mereka sudah melampaui urusan lapis bawah, dalam arti telah menjangkau urgensi penyadaran kolektif mengenai ekologi, tata kelola sumberdaya daerah, HAM, partisipasi pengambilan keputusan publik, dan seterusnya.

Lapis puncak, populasinya sedikit tetapi aksesibilitas dan daya paksanya terhadap pengambil kebijakan, cukup efektif. Jelas, aspirasinya berkisar pada kemudahan memperoleh beragam peluang penguatan kapasitas sosial ekonomi melalui konsesi-konsesi yang dijatahkan oleh pengambil kebijakan.

Kalau lapis-lapis masyarakat itu disurvey atau dijajaki pendapatnya mengenai profil walkot mendatang, tentu preferensinya akan beragam pula. Bincang-bincang ihwal jajak pendapat, Emmanuel Subangun (2004) memberi catatan bahwa di Indonesia, kepentingan dan minat warga tidak pernah berjalan lurus dengan ekspresi politiknya.

Antara politik dengan struktur sosiokultural dan ekonomi tidak ada garis sebab akibat, tetapi hanya hubungan koefisien. Artinya, tulis Subangun, tingkat presisi analisis sangat ditentukan oleh kemampuan untuk membentuk sampling frame yang benar.

Ratusan variabel sosial, ekonomi, dan budaya harus ditimbang terus-menerus untuk mendapatkan sampel yang mewakili populasi pemilih. Jajak pendapat secara berkala yang dilakukan dengan desain riset yang lemah, hanya akan menjadikan hasil riset bergerak ke arah kesalahkaprahan.

Dengan asumsi bahwa hasil survey yang saya terima itu ditopang oleh kebulatan desain riset dan kecermatan pemaknaan atas hasil analisis datanya, maka preferensi para responden tadi dapat dikonfirmasi dengan banyak aspek faktual.

Pertama, mengisyaratkan bahwa sosok pemimpin berlatar militer masih dibutuhkan oleh sebagian warga kota ini. Suatu kebutuhan yang biasanya lekat dengan tema-tema pemeliharaan iklim kondusif, pencegahan kerawanan dan dinamika sosial yang berpotensi destruktif.

Meski militer secara kelembagaan dan personal di era reformasi telah melakukan redefinisi dan reposisi, toh hasil survey ini menyiratkan makna masih kentalnya personifikasi militer sebagai kekuatan pengaman dan penertib.

Masihkah kesan security approach --yang di masa orde baru cukup ampuh menangkal dan menindak unsur-unsur antistabilitas— melekat kuat di hati masyarakat? Entahlah, tetapi “iklan” Pak Wiranto yang menawarkan pemerintahan yang kuat dan tegas, misalnya, pasti diberangkatkan dari suasana kebatinan (termasuk kekuatiran digusur dan dimarjinalisasi) masyarakat sekarang.

Kedua, ada umpan balik yang berharga bagi para kandidat walkot berlatar sipil yang sejauh ini begitu suntuk bersosialisasi diri membangun kohesivitas dukungan masyarakat. Dengan umpan balik itu, mereka mesti berupaya mengefektifkan pendekatan dan siasat silaturahminya.

Ketiga, memupus kerinduan sebagian masyarakat lapis tengah termasuk akademisi akan hadirnya walkot dari kalangan sipil. Kerinduan yang lazim dilandasi argumen civil society dalam makna penguatan peran kaum sipil di pentas jabatan politik. Bisa juga “melawan mitos” atau mementahkan tradisi lama, bahkan alergi terhadap “tensi” khas militer.

Sampai di sini, perdebatan mengenai walkot militer versus walkot sipil telah menemukan jawaban sementara. Lebih menarik kalau didiskusikan pula konsep-konsep semisal kepemimpinan sipil yang militeristik, doktrin militer, militansi manajer, dan model manajemen militer.

Kembali ke soal survey tadi, hendaknya dipahami sebagai ikhtiar pencarian kebenaran empirik yang tarap signifikansinya tidak pernah mutlak 100%. Dari situ dihimpun informasi dan bahan-bahan tindakan strategik bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

Anis Yahya (NP 6/02/08) menulis: “… di mana logika kebaikan dan kejahatan tersamarkan oleh kepentingan, maka kemenangan bergantung kepada penciptaan pengaruh melalui pemenuhan beragam kebutuhan masyarakat yang paling mendasar”.

Di dalam bingkai logika pilkada langsung (mudah-mudahan minus logika kejahatan, Nis), banyak faktor dan vektor yang –meminta kecerdasan kalkulatif-- memungkinkan hal-hal yang tidak mungkin menjadi mungkin atau sebaliknya.

Di atas kalkulasi itu, segala kemungkinan hanya dimungkinkan ketika diperoleh hasil final penghitungan suara. Kita lihat saja nanti, militerkah, sipilkah, atau militer siiip…deh? Yang pasti, hari-H dan detik-D pilkada kota ini belum tiba, dan kini kita tengah menikmati ujung masa kepemimpinan Kang AW, walkot yang berlatar tentara. Wassalam.

1 komentar:

yayat hidayat amir mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.